Dakwah tidaklah sama dengan pertunjukan hiburan. Bila hiburan lebih kepada interaksi atau hubungan sosial antar manusia, maka dakwah adalah interaksi Allah dengan hambanya. Menghargai interaksi antar manusia dengan uang adalah hal biasa. Seperti melakukan jual beli, menjual jasa atau sekedar memberi uang ucapan terima kasih. Namun menghargai interaksi dengan Allah menggunakan uang adalah hal tabu.
Hal ini bisa dilihat dengan bagaimana pandangan ulama terhadap perilaku belajar atau mengajar al-Qur’an dengan niatan memperoleh hal berbau duniawi; seperti materi, simpati, maupun perhatian manusia. Imam al-Nawawi di dalam al-Tibyan amat mewanti-wanti untuk tidak melakukan hal itu. Apalagi menjadikan al-Qur’an sebagai alat memperoleh penghasilan. Bahkan ulama masih berselisih pendapat mengenai hukum menerima ongkos dari jasa mengajar al-Qur’an. Ada yang menyatakan hukumnya haram (At-Tibyan/44-45).
Jangan Salah Menghakimi
Yang lebih tepat untuk dihakimi oleh publik dalam kasus saweran qariah bukanlah si pemberi, tapi pemahaman si pemberi. Semua orang bisa memiliki pemahaman yang salah mengenai agama. Bahkan publik yang ikut menghakimi. Maka daripada menghujat si pelaku yang mungkin saja satu dari sekian orang yang memiliki pemahaman salah, bukankah lebih baik membicarakan pemahaman keliru yang yang terjadi?
Salah satu hal yang menarik adalah pengakuan qariah, yang memang sengaja tidak segera menghentikan bacaannya saat terjadi praktik sawer. Qariah mengetahui bahwa praktek sawer tersebut tidak patut untuk dilakukan. Namun dia tidak segera menghentikan bacaannya, tidak juga menunjukkan sikap ketidaksetujuannya, sebab dia sedang membaca al-Qur’an. Dan menyelesaikan bacaan al-Qur’an dengan baik dan benar serta tidak terbawa emosi, adalah adab tersendiri yang harus dijaga.
Sikap ini dapat menjadi pembelajaran bagi kita, untuk melihat permasalahan dari berbagai sisi. Jangan sampai dalam menunjukkan sesuatu yang salah, kita bersikap membabi-buta. Apalagi mengabaikan cara-cara bijak sebagaimana yang diajarkan dalam berdakwah.